Loading

Senin, 17 Oktober 2011

Antara Orde Baru dan Orde Reformasi

Bismillahirrahmaanirrahiim.
Masyarakat Madani berbeda dengan masyarakat Badwi. Masyarakat Madani telah berperadaban, memiliki aturan sosial yang mengatur hidupnya, dan diatur oleh suatu pemerintahan. Masyarakat Badwi sebenarnya juga memiliki corak kepemimpinan juga, tetapi sangat tradisionalis.
Sebagai bagian dari masyarakat berperadaban, hidup kita tidak lepas dari keberadaan suatu IMARAH (kepemimpinan atau pemerintahan). Disini ada ungkapan menarik dari Khalifah Umar Ra.: “Tidak ada Islam, tanpa jamaah; tidak ada jamaah, tanpa kepemimpinan; tidak ada kepemimpinan tanpa ketaatan.” Selama kita menjadi Ummat Islam, kita akan selalu berperadaban (tidak hidup secara Badwi), dan otomatis kita akan selalu bersinggungan dengan kepemimpinan.
Saudaraku, dalam beberapa tulisan terakhir saya menyinggung tentang Politik Soeharto. Secara umum, saya berani menghargai kebaikan-kebaikan beliau kepada kaum Muslimin. Bahkan saya percaya, beliau adalah seorang tokoh Muslim yang berjasa. Insya Allah. Adapun tentang kritik-kritik kepadanya, saya tidak berbeda dengan para pemerhati yang obyektif dalam hal ini. Beliau memiliki sekian kesalahan dan kekeliruan yang tidak boleh dilupakan.
Sebelumnya, perlu Anda ketahui, dalam penulisan artikel-artikel ini, seluruhnya mandiri, dengan biaya dan support sendiri. Secara politik maupun ekonomis, tidak ada kaitan saya dengan para ahli waris Pak Harto. Kenal pun tidak. Ini dedikasi murni untuk melayani penerangan Islam, insya Allah. Seandainya, melupakan jasa baik seorang Muslim merupakan amal shalih, tentu hal itu lebih tepat untuk dilakukan. Apalagi sikap para aktivis politik banyak yang melampaui itu: mereka berani memfitnah, melakukan kebohongan, pembunuhan karakter, menghujat, dan seterusnya.
Secara umum, ketika kita melihat suatu pemerintahan yang memerintah kehidupan kaum Muslimin, ada dua rujukannya: (1) Pandangan Syariat Islam, dan (2) Pandangan tarikh (sejarah) tentang pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Kedua pandangan ini perlu dipakai, agar kita bisa menghasilkan penilaian yang jujur dan tidak kehilangan banyak kebaikan.
Kalau melihat Pemerintahan Soeharto (kadang disebut Orde Baru), sebenarnya disana masih jauh dari ideal. Ya, kita sudah sama-sama memaklumi, bahwa segala sesuatu mesti ditimbang secara Syariat Islam. Sedangkan, Pemerintah Pak Harto waktu itu bukanlah Pemerintahan Islami (seperti Thaliban misalnya), juga bukan Republik Islami (seperti Sudan misalnya), atau juga tidak menerapkan Syariat Islam (seperti Kelantan di Malaysia), atau juga bukan Kerajaan di atas Syariat Islam (seperti Kerajaan Saudi). Dari sisi ini, jelas disana akan kita temukan banyak kekurangan-kekurangan. Pendek kata, secara formalis pemerintahan Soeharto bukan pemerintahan Islami.
Tetapi di akhir jabatannya, beliau banyak mengakomodir aturan/kebijakan yang selaras dengan Syariat Islam. Alhamdulillah. Belum seluruhnya, masih sebagian, dan terasa manfaatnya. Andai waktu itu tidak ada akomodasi sama sekali, mungkin kehidupan dakwah Islam saat ini lebih susah lagi. Secara formalis, Pak Harto bukan seorang pemimpin negara Islami, baru menerima substansi Syariat Islam pada sebagian aturan/kebijakannya.
Dari sisi kekurangan, jelas disana banyak kekurangan. Contoh, sakralisasi Pancasila dan UUD 1945, militerisme, sikap lunak kepada sistem konglomerasi, pelanggaran HAM berat terutama DOM di Aceh, dan lain-lain. Jadi kekurangan itu tetap ada, tidak bisa dipungkiri.
Hanya saja, saat politik Soeharto dibandingkan SISTEM LIBERALISASI saat ini, ia lebih baik. Kalau saya menerima politik beliau, bukan berarti mengabaikan kesalahan-kesalahannya. Tetapi saat membandingkan dengan kondisi saat ini, politik beliau lebih baik. Tetapi secara ideal, apa yang kita anggap terbaik adalah SISTEM ISLAMI. Seperti kata Ali bin Abi Thalib Ra., “Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.”
Sistem Liberalisasi ini sangat membahayakan kehidupan Islam dan kaum Muslimin. Di segala sektor diliberalisasikan, antara lain:
[o] Politik liberal. Pemilu multi partai (tahun 2009 nanti diikuti 34 partai, pernah sampai 48 partai). Pemilihan presiden langsung, pilkada langsung, dan otonomi daerah secara berlebihan. Ini sangat liberal. Di Amerika saja hanya 2 partai, pemilihan DPR disatukan dengan pemilihan presiden.
[o] Ekonomi liberal. Sistem pasar terbuka, sistem kurs dan indeks saham terserah mekanisme pasar, pencabutan subsidi-subsidi untuk masyarakat. Tidak ada perlindungan terhadap produk dalam negeri. Investasi terbuka, perusahaan-perusahaan asing bebas. Luar biasa liberalisasi ini.
[o] Media massa liberal. Sejak tahun 1999 di Indonesia berlaku UU Pers yang menjamin kebebasan media massa sebebas-bebasnya. Tanpa ada kontrol, restriksi, ancaman sanksi berat bagi pers atas kesalahan mereka. UU Pers itu lebih melindungi pers daripada masyarakat.
[o] Sistem pendidikan liberal. Sekolah-sekolah bebas berdiri, dengan kontrol yang tidak ketat. PT diswastanisasi dengan kebebasan mengelola anggaran sendiri.
[o] Budaya dan pergaulan liberal. Hal itu sangat terlihat di masyarakat, baik melalui doktrin TV, media massa, hiburan, iklan, dsb. Sangat westernist sekali.
[o] Ideologi liberal. Diusung oleh JIL dan kawan-kawan. Intinya, sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. JIL ingin meliberalkan pemahaman kita atas agama ini.
Liberalisasi itu adalah kekafiran. Sebab segala sesuatunya diserahkan ke mekanisme pasar dan hawa nafsu manusia. “Suka suka gue dong!” begitu slogan populernya. Ini adalah hakikat kekafiran, tidak mau tunduk kepada tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Bahkan liberalisasi itu sistem yang menganut “hukum rimba”, siapa yang kuat dia yang menang.
Kalau begini kenyataannya, Islam dan kaum Muslimin lama akan hancur di negeri ini. Islam mengajarkan prinsip sami’na wa atha’na (kami dengar dan kami patuh, ya Allah). Sementara liberalisasi menyerahkan segala urusan kepada MEKANISME PASAR atau HAWA NAFSU MANUSIA sendiri. Apakah Anda bisa melihat hakikat kekafiran ini?
Coba sekarang Anda pikirkan secara jernih, benarkah di negara kita telah berlangsung LIBERALISASI di segala bidang? Apakah fakta yang saya ajukan itu mengada-ada, membual, atau berdusta?
Lalu pikirkan lagi, berbahayakah LIBERALISASI ini bagi Islam dan kaum Muslimin? Apakah tidak bahaya? Apakah sesuai ajaran Islam? Apakah sesuai Syariat Islam? Apakah berkah dan patut disyukuri? Cobalah jawab secara jujur.
Saya tidak percaya bahwa ada pemerintahan ideal, sebelum ia benar-benar menegakkan Syariat Islam secara murni dan konsisten. Pemerintah Orde Baru masih jauh dari ideal, tetapi ia telah mengakomodasi sebagian substansi Syariat Islam dalam aturan/program/kebijakan. Adapun orde Reformasi saat ini adalah hakikat LIBERALISASI yang sangat membahayakan Islam dan kaum Muslimin.
Semoga Anda memahami di titik mana upaya ini diarahkan. Alhamdulillah Rabbil ‘alamin. Wallahu a’lam bisshawaab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar