Status hukum merokok telah lama menjadi perdebatan, jauh hari sebelum
Majlis Tarjih Muhammadiyyah mengeluarkan fatwa merokok haram. Dalam hal
ini publik Indonesia terbelah dalam 3 kelompok: (a) Kalangan yang
secara mutlak mengharamkan rokok dan perbuatan merokok; (b) Kalangan
yang memakruhkan rokok dan tidak sampai mengharamkan; (c) Kalangan yang
secara mutlak menghalalkan rokok dan menentang fatwa yang
mengharamkannya. MUI sendiri pernah mengeluarkan fatwa merokok haram,
tetapi dengan syarat dan kondisi tertentu. Misalnya, merokok haram bagi
ibu hamil, anak-anak, di tempat umum, dll.
Dalam hal ini, masalah rokok bisa dikaji dalam dua ruang besar: Aspek kajian fiqih dan aspek dampak sosial.
Dalam perdebatan seputar hukum merokok, dua aspek itu sering rancu,
sehingga sulit ditemukan titik temu. Misalnya, kalangan yang
mengharamkan rokok sering berdiri dalam perspektif fiqih, sedangkan para
penentang fatwa haram rokok sering berdiri dalam perspektif sosial.
ASPEK KAJIAN FIQIH
Para penentang fatwa haram merokok sering berdalih dengan
alasan-alasan antara lain: (1) Dalam Al Qur’an dan As Sunnah tidak ada
larangan yang tegas/qath’i yang mengharamkan rokok atau perbuatan
merokok; (2) Merokok memang merugikan, tetapi statusnya tidak sampai
haram, namun makruh (tidak disukai). Sejauh yang saya ketahui, alasan
para penentang fatwa haram merokok tidak adan keluar dari 2 argumentasi
ini. Ada juga yang menambahkan alasan “pelengkap”, bahwa masih banyak
para kyai/ustadz yang merokok, maka otomatis merokok dianggap halal.
Tetapi alasan perbuatan kyai/ustadz ini tentu tidak bisa menjadi
patokan.
Perlu dipahami, perbuatan merokok tidaklah haram karena dzat-nya,
tetapi haram karena akibatnya yang menimbulkan madharat bagi diri
sendiri dan orang lain. Merokok bukan perbuatan haram seperti berzina,
minum khamr, membunuh, ribawi, menipu, mencuri, berjudi, dll. Jadi, dzat
asalnya tidak haram, sebab bukan termasuk perbuatan-perbuatan yang
diharamkan Syariat. Tetapi akibat buruk yang timbul karena perbuatan
merokok itulah yang menjadi pangkal keharamannya.
Misalnya, ini hanya misalnya, merokok bisa membuat tubuh menjadi
segar, metabolisme lancar, pernafasan membaik, kadar gula turun,
kolesterol menyusut, mempertinggi kesuburan, mereduksi sel-sel kanker,
dll. Jika demikian, maka merokok pasti diperbolehkan, halal, dianjurkan,
bahkan bisa diwajibkan. Tetapi karena efeknya merugikan, maka para
ulama menyimpulkan, perbuatan ini haram. Istilahnya, tahrim li aqibati mafsadatihi.
Dalilnya adalah kaidah fiqih yang terkenal, “Ad dinu jalbun lil masha-lih wa daf’un lil mafasid” [agama itu untuk mencapai maslahat dan menolak mafsadah (kerusakan)]. Dalam Al Qur’an disebutkan, “Dan Dia menghalalkan atas mereka yang baik-baik dan mengharamkan atas mereka yang buruk-buruk.” (Al A’raf: 157).
Kaidah demikian banyak sekali dipakai oleh para ulama dalam ijtihad
mereka, terutama untuk menghukumi perbuatan, materi, transaksi, dll.
yang tidak ditemukan realitasnya di jaman Salaf (Nabi dan Shahabat).
Contoh, tentang media pornografi, kontrasepsi, bunga bank, asuransi,
pakaian modern, alat komunikasi, kartu kredit, film, novel, soft drink,
transpalantasi, operasi plastik, kloning, dll.
Jika suatu perbuatan tidak termasuk haram karena dzatnya, sebab tidak
disebutkan secara jelas keharamannya melalui teks Al Qur’an dan Sunnah,
ia bisa diharamkan karena akibatnya yang merugikan kehidupan Ummat.
Status hukum merokok, bisa dipahami dari sudut pandang demikian. Sebagai
perbandingan, jika merokok tidak bisa diharamkan, meskipun akibatnya
sangat merugikan, dengan alasan tidak ada ayat/hadits yang tegas
melarang perbuatan itu, maka perbuatan lain seperti menonton VCD porno,
kebut-kebutan di jalan, menjadi suporter brutal, musik rock, bursa
saham, dll. juga otomatis dihalalkan juga. Sebab semua perbuatan itu
dulu di jaman Salaf juga tidak ada, dan tidak ditemukan larangan tegas
tentangnya dalam Kitabullah dan As Sunnah.
ASPEK DAMPAK SOSIAL
Para pembela rokok/perbuatan merokok sering berdalih dengan
alasan-alasan sosial, seperti: “Kasihan para petani tembakau. Nanti
mereka akan menanam apa lagi? Kasihan buruh pabrik rokok, kasihan para
pedagang pengecer rokok, kasihan para pengusaha yang sudah mengeluarkan
modal miliaran rupiah, kasihan dinas pajak dan cukai, kasihan departemen
tenaga kerja, dll.”
Bahkan lebih parah lagi, ketika ada yang mengatakan, “Kasihan para
penonton bola, sebab tidak ada yang mau pasang iklan, selain iklan
rokok. Kasihan para dokter dan rumah sakit, karena tidak ada yang
merokok, jumlah pasien mereka menurun drastis. Dan sangat kasihan
gerakan KB, sebab semakin jarang orang merokok, semakin sedikit
laki-laki yang impotensi.” (He he he…ini hanya bercanda).
Ya, harus diakui, di Indonesia itu merokok telah masuk menjadi
perilaku yang sangat membudaya. Sejak rakyat kecil sampai pejabat
tinggi, orang awam sampai professor, tidak laki-laki tidak wanita, baik
kalangan penjahat maupun kyai, baik santri maupun mahasiswa, banyak yang
sudah hobi merokok.
Perilaku yang sudah membudaya otomatis ada konsekuensi ekonomisnya.
Dalam masalah rokok ini, ia telah melahirkan jaringan ekonomi yang
membentang sejak dari hulu sampai ke hilir. Sejak dari petani tembakau,
sampai ke konsumen, dinas pajak, departemen perindustrian, departemen
tenaga kerja, iklan TV, studio iklan, pertandingan sepakbola, dan
sebagainya. Benar-benar telah menjadi “kanker sosial” yang sulit
melepasnya dari kehidupan masyarakat.
Kondisi ini mirip dengan masyarakat Kuba di bawah Fidel Castro,
meskipun tidak separah mereka. Di Kuba, karena sebagian besar
masyarakatnya stress, negara bertanggung-jawab menyediakan jatah rokok
bagi rakyatnya. Fidel Castro sendiri memiliki hobi menghisap cerutu
kualitas istimewa. Padahal harga cerutu sangat jauh lebih tinggi
disbanding rokok kretek biasa.
Menurut sebagian surve, katanya 70 % perokok adalah orang miskin.
Merokok telah menjadi gaya hidup orang miskin, dan membuat mereka PASRAH
sebagai orang miskin. Tidak ada daya kreatif, militansi, atau spirit
perjuangan untuk mengubah nasib. Sebab, mereka sudah cukup merasa
“berubah nasib” dengan kepulan asap rokok. Pada suatu titik, rokok telah
menjadi “regim kebudayaan” yang efektif melestarikan status miskin,
melarat, dan tidak berdaya, dalam kehidupan masyarakat kita.
Sebagai Muslim, kita harus memiliki komitmen untuk berhenti merokok.
Tidak bisa sekaligus, tidak mengapa. Proses bertahap tidak masalah.
Asalkan pada suatu waktu, benar-benar berhenti. Jika tidak mampu
berhenti sekaligus, silakan berproses secara bertahap. Ketauhilah kawan,
“Merokok bukan hanya akan membuatmu impoten secara syahwat, tetapi juga
impoten dari sisi militansi!” Rokok ini ranjau sosial yang sengaja
dipasang untuk memenjarakanmu dalam status kemiskinan, kemelaratan, dan
ketidak-berdayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar